![]() | |||||
sumber gambar: Google |
Tahun ini, sudah tahun
ke 5 saya melakukan tradisi mudik. Dikarenakan skripsi yang tak kunjung selesai
membuat Jember masih menjadi kota rantauan. Mudik umumnya adalah istilah yang
digunakan orang untuk menyebutkan tradisi pulang kampung menjelang hari raya
Idulfitri. Kampung halaman saya ada di Desa Pakis, Kecamatan Durenan,
Trenggalek yang ditempuh sekitar 9-10 jam menggunakan bis.
Untuk masyarakat
beragama Islam, hari raya Idulfitri yang hanya datang sekali setahun selalu
disambut dengan meriah penuh suka cita. Ibaratnya, setelah berpuasa sebulan
penuh kemudian ditutup dengan idulfitri yang identik dengan saling memaafkan.
Kemeriahan Idulfitri juga ada di daerah tempat tinggal saya. Pada waktu saya
kecil, setelah adzan maghrib di hari terakhir puasa, suara takbir mulai
bersahut-sahutan. Masjid-masjid mulai mengumandangkan takbir dengan keras yang
dapat didengar hingga desa lain. Setelah itu, menjelang malam, warga desa
melakukan konvoi takbir keliling menaiki mobil bak terbuka. Mereka membawa sound besar untuk mengumndangkan takbir.
Konvoi itu membuat suasana malam Idulfitri menjadi ramai. Tak lupa, mereka juga
membawa obor dan menyalakan kembang api. Bisa dibayangkan betapa berisiknya.
Saat itu, saya hanya melihat dari dalam rumah sambil sesekali menyomot kue
lebaran yang sudah dimasukkan dalam toples. Sekarang, tradisi itu mulai ditinggalkan
di desa saya. Namun, ada tradisi berbeda yang dilakukan masyarakat untuk
menyambut Idulfitri.
Idulfitri tahun 2018
jatuh pada tanggal 15 Juni 2018. Seminggu sebelumnya saya mudik ke Trenggalek.
Sekitar pukul 04.30 pagi saya sampai di Durenan. Tidak menunggu lama, bapak
saya datang menjemput. Memasuki lingkungan sekitar rumah, suasana berbeda
nampak. Saya berharap perbedaan itu adalah jalan sekitar rumah yang sudah
diaspal, ternyata bukan. Jalanan di sekitar rumah saya masih belum aspal dan
hanya barisan bebatuan yang tidak dilanjutkan untuk diaspal. Suasana berbeda
itu terletak pada pinggiran jalan menuju rumah yang telah dihiasi. Tidak heran
sih, karena tradisi ini sudah mulai dilakukan sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu
untuk menyambut hari raya Idulfitri.
Hiasan tersebut berupa
kayu yang dibentuk seperti gapura lalu dihiasi dengan kain dan kertas warna.
Kain tersebut dibentangkan menutupi kayu dan dibentuk pita. Tidak hanya satu,
gapura itu ada di setiap jalan dan hanya berjarak tak sampai 1 meter. Pada
malam hari, kain-kain itu nampak menyala di kegelapan. Warga sekitar iuran
untuk merealisasikan hal ini. Sebenarnya, bisa dikatakan dekorasi sekitar rumah
saya masih jauh lebih sederhana daripada desa-desa lain di Kecamatan Durenan.
Hal ini bergantung pada kreativitas dan dana yang dimiliki. Dulu, awal tradisi
ini dilakukan, saya sempat berpikir, ini mau menyambut Idulfitri atau untuk
resepsi pernikahan ya? Jika belum bisa membayangkan bagaimana dekorasi
lingkungan sekitar rumah saya, silakan bayangkan dekorasi pernikahan yang
lazimnya ada.
Malam takbir, saya dan
bapak membagikan zakat. Kemudian bapak mengajak untuk berkeliling melihat
ramainya desa lain menyambut Idulfitri. Saya kembali tercengang. Sekali lagi
saya pastikan, lingkungan rumah saya masih kalah jauh jika dibandingkan dengan
desa lain. Hiasan di setiap desa berbeda-beda. Ada yang memasang lampu
warna-warni di gapura sehingga tampak lebih terang. Tugu di tengah jalanpun tak
terlepas dari kreativitas warganya. Tugu itu dihiasi lampu dengan warna toska
yang cantik. Setiap rumah juga memasang lampu warna-warni yang menambah kesan
meriah. Ada pula yang memasang banner
dengan tulisan besar “SELAMAT HARI RAYA IDULFITRI”. Ada satu hal lagi yang
unik. Warga sekitar juga membuat orang-orangan dari kayu maupun kain bekas.
Orang-orangan tersebut dipakaikan pakaian layaknya orang asli. Sempat saya
tertipu dengan “orang palsu” itu. Ceritanya, saya sedang naik motor di malam
hari, kemudian dari kejauhan saya melihat orang-orangan itu yang nampak seperti
orang yang sedang duduk. Setelah dekat saya menyapa, “monggo” namun tak ada jawaban. Setelah saya perhatikan ternyata itu
adalah orang-orangan. Hahaha. Yah kena tipu deh!
Usut punya usut,
tradisi mendekor lingkungan ini ternyata dilombakan oleh kecamatan. Ada 14 desa
di kecamatan Durenan yang mengikuti lomba ini, namun hanya dipilih 5 terbaik
yang akan disurvei langsung oleh orang dari kecamatan. Lima desa atau dusun
terbaik itu akan mendapatkan masing-masing Rp. 1.000.000. Makanya, setiap desa
atau dusun berlomba-lomba untuk mendekor lingkungan rumahnya semeriah dan
sebagus mungkin. Selain untuk mendapatkan hadiah juga untuk seu-seruan
menyambut hari raya Idulfitri
Meskipun tak ada lagi
konvoi takbir keliling seperti saat saya kecil, suasana malam takbir Idulfitri
tetaplah selalu meriah. Masyarakat akan selalu antusias menyambut perayaan yang
hanya datng sekali setahun ini. Inilah tradisi dekor lingkungan menjelang hari
raya Idulfitri di rumahku. Kalau tradisi lingkungan rumahmu mana?????
Komentar
Posting Komentar