Apresiasi Sastra



GAMBARAN DASAR APRESIASI SASTRA
(DJOKO SARYONO)

HAKIKAT APRESIASI SASTRA
            Apresiasi sastra pertama-tama tampaknya perlu diletakkan sebagai peristiwa atau fenomena kesenian, bukan peristiwa atau fenomenon keilmuan, keamanan, politis, sosial, ekonomis, bisnis, dan lain-lain. Sebagai peristiwa kesenian, karya sastra tentu saja lebih bersifat individual dan momentan; yang lebih banyak bersangkutan dengan jiwa dan bergantung pada waktu. Apresiasi sastra sesungguhnya dan pertama-tama tidak bekerja dengan rumus-rumus, pola-pola, kaidah-kaidah dan perangkat-perangkat hukum (kesenian khususnya kesastraan) yang relatif baku, umum, dan selalu berulang bagi siapa saja. Meskipun demikian, memang patut diakui bahwa rumus-rumus, pola-pola, kaidah-kaidah, dan perangkat-perangkat hukum itu dapat membantu berlangsungnya apresiasi sastra. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa apresiasi sastra bekerja pada tingkat subjektif dan eksistensial, bukan objektif dan diskursif sebagaimana ilmu bekerja.
PENGERTIAN APRESIASI SASTRA
            Sampai saat ini, pengertian apresiasi sastra masih sering kacau dan kabur dengan pengertian kritik sastra dan penelitian sastra. Di samping itu, pengertian apresiasi sastra yang ada hingga sekarang sangat beraneka ragam karena dipengaruhi beberapa hal. Pertama, apresiasi sastra memang merupakan fenomena yang unik dan rumit. Kedua, terjadinya perubahan dan perkembangan pemikiran tentang apresiasi sastra. Ketiga, adanya perbedaan penyikapan dan pendekatan terhadap hakikat apresiasi sastra. Keempat, adanya perbedaan kepentingan antara orang satu dengan yang lain. Ada beberapa pengertian apresiasi sastra yang dikemukakan orang, contohnya sebagai berikut.
            Apresiasi sastra ialah penghargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan atas pemahaman. ( Panuti Sudjiman, 1990:9)
            Apresiasi sastra adalah penghargaan dan pemahaman atas suatu hasil seni atau budaya.    ( T. Suparman Natawidaja, 1981:1)
Sedang pengertian yang masih kacau atau kabur dengan kritik sastra adalah sebagai berikut.
            Apresiasi sastra adalah penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sadar dan kritis. (H.G. Tarigan, 1984:233)
Selanjutnya, yang dimaksud dengan pengertian operasional-utuh-holistis ialah pengertian yang memasukkan berbagai unsur hakikat apresiasi sastra secara relatif memadai.
            Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan pikiran yang baik terhadap cipta sastra. (S. Effendi, 1982:7)
Namun buku ini memiliki pandangan sendiri tentang pengertian apresiasi sastra. Berdasarkan hakikat apresiasi sastra yang dikembangkan dalam buku ini, dapatlah pengertian apresiasi sastra (yang operasional-utuh-holistis) dirumuskan sebagai berikut. Apresiasi sastra ialah proses (kegiatan) pengindahn, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra secara individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budiah, khusuk dan kafah, intensif dan total supaya memperoleh sesuatu daripadanya sehingga tumbuh, berkembang, dan terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra.
            Pengertian di atas setidak-tidaknya mengandung lima pokok pikiran yang dapat dijelaskan lebih lanjut. Pertama, proses ( kegiatan) pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra. Kedua, secara individual dan momentan, subjektif dan eksistensial. Ketiga, supaya memperoleh sesuatu daripadanya. Keempat, sehingga tumbuh berkembang dan terpiara. Kelima, kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Kelima pokok pikiran tersebut harus berjalan dan dilakukan bersamaan agar seseorang dapat mengapresiasi sebuah karya sastra dengan baik.
POKOK PERSOALAN APRESIASI SASTRA
            Sebagaimana diketahui, sastra menjadi pokok persoalan (subject matter) berbagai kegiatan yang bersangkutan dengan sastra. Bahkan bersangkutan juga dengan kegiatan di luar sastra. Disiplin ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, dan keagamaan sering menjadikan sastra sebagai pokok persoalan. Meskipun disiplin-disiplin atau bidang-bidang tersebut sama-sama menjadikan sastra sebagai pokok persoalan, apakah masing-masing juga sama dalam memperlakukan keberadaan sastra? Pada umumnya, ilmu-ilmu tersebut memperlakukan sastra sebagai artefak, sebagai segugusan fakta yang membentuk suatu mozaik utuh. Selain itu, kritik sastra, penelitian sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, dan lain-lain juga memberlakukan sastra sebagai artefak.
            Bagaimana apresiasi sastra memperlakukan sastra yang menjadi pokok persoalannya? Samakah perlakuan apresiasi sastra terhadap sastra dengan berbagai disiplin dan kegiatan keilmuan tersebut di atas? Berbeda dengan disiplin dan kegiatan keilmuan di atas, apresiasi sastra memperlakukan sastra sebagai universe, sebuah dunia kewacanaan yang memiliki kehidupan sendiri, bukan artefak, bukan benda mati. Dunia kewacanaan sebagai dunia-manusia memiliki kehidupan tersendiri(yang berbeda dengan dunia-manusia secara objektif dan empirik). Ia mempunyai kemampuan dan daya untuk merengkuh, memikat, merangsang, menyeret, dan mengajak manusia masuk ke dalamnya. Sastra sebagai universe, dunia kewacanaan yang mampu dan berdaya merangkul, merengkuh dan memikat manusia-pembecanya masuk ke dalamnya itulah yang menjadi pokok persoalan apresiasi sastra.
WILAYAH GARAP APRESIASI SASTRA
            Wilayah garap (jangkauan) apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra sering rumpang dan berbenturan. Perbedaan wilayah garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra agaknya akan sulit diidentifikasi jika kita berhenti pada karya sastra. Dikatakan demikian karena baik apresiasi sastra, kritik sastra, maupun penelitian sastra abash menjelajahi seluruh fenomena karya sastra. Perbedaan wilayah garap ketiganya baru jelas diidentifikasi jika kita memperhatikan cirri-ciri perilaku yang harus ada dalam ketiga kegiatan tersebut.
            Sejalan dengan hakikat, pengertian, dan pokok persoalan yang sudah dikemukakan tersebut di atas, kita memahami bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan internalisasi sastra, sementara kritik sastra dan penelitian sastra merupakan kegiatan rasionalisasi sastra. Dalam internalisasi sastra, jarak harus dileburkan dan jurang harus ditimbun antara manusia pembacanya dan karya sastra, sementara dalam rasionalisasi sastra berlaku sebaliknya. Hal ini berarti bahwa kegiatan apresiasi sastra lebih merupakan suatu seni (kiat). Sebagai suatu seni (kiat), apresiasi sastra menekankan perilaku pengindahan, penikmatan,dan penghargaan sastra. Hal ini mengimplikasikan, dalam apresiasi sastra berlangsung penerimaan sepenuhnya terhadap karya sastra. Dengan demikian, apresiasi sastra lebih meminta keakraban antara pembaca dan karya sastra. Hal ini dapat diibaratkan bahwa dalam apresiasi sastra, hubungan antara pengapresiasi dan karya sastra merupakan hubungan dua kekasih.
            Misalnya saja jika kita mengapresiasi puisi dari W.S. Rendra yang berjudul Balada Terbunuhnya Atmo Karpo, maka dengan penuh keakraban tanpa jarak kita menginternalisasinya dengan cara mengindahkannya, menikmatinya, kemudian menghargainya. Setelah itu kita dapat menceritakan dan melisankannya. Misalnya demikian: Ada seorang perampok perkasa bernama Atmo Karpo. Suatu ketika ia mendatangi desa. Kali bukan merampok, melainkan didorong oleh kesiasiaan hidup yang dirasakannya sangat pahit dan oleh perasaan berdosa kepada anaknya sendiri, Joko Pandan. Ia datang untuk menantang anaknya… (dan seterusnya).
            Sebaliknya, jika kita melakukan kritik sastra terhadap puisi di atas, maka dengan penuh “kecurigaan” yang direntangi oleh jarak, kita merasionalisasinya dengan cara menyelidikinya, menilainya, dan mungkin menghakiminya secara mendasar. Demikianlah, kritik sastra bekerja di wilayah yang lebih objektif dan teknis. Sedangkan penelitian sastra bekerja di wilayah yang lebih objektif dan teknis lagi. Ia bekerja di wilayah yang harus jelas teori dan metodologinya: teori apa yang digunakan (structural, semiotika, feminis, fantasi, dan sebagainya) dan metodologi apa yang dipakai (kuantitatif atau kualitatif, nomologis atau ideografis, dan sebagainya). Dari contoh bekerjanya apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra tersebut di atas makin jelaslah wilayah garap masing-masing, paling tidak wilayah garap apresiasi sastra.

STATUS KEHADIRAN APRESIASI SASTRA
             Apresiasi sastra bekerja secara subjektif, individual, internalistik, momentan tanpa perlu dipandu oleh teori tertentu, dan tak evaluatif. Hal ini berarti bahwa kehadiran apresiasi sastra ditengah-tengah dunia (penghadapan) sastra bukan sebagai ilmu. Meskipun demikian, kehadiran apresiasi sastra tidak bisa dikatakan sebagai keterampilan karena keterampilan selalu mekanistik, penuh keberulangan, dan cara-cara yang tergolong baku. Kehadiran apresiasi sastra sesungguhnya lebih tepat distatusi sebagai seni karena mempunyai beberapa alasan, sebagai berikut:
1.      Secara  primer terbukti apresiasi sastra dapat berlangsung tanpa harus disangga oleh teori tertentu. Asalkan ada kemauan dan itikad baik daru apresiator.
2.      Secara sekunder apresiasi sastra dapat berlangsung dengan ditopang oleh teori tertentu baik teori apresiasi sastra maupun teori sastra.
3.      Meskipun apresiasi sastra berlangsung secara individual, subjektif, dan momentan, percobaan terus-menerus dan berulang-ulang dapat memantapkan keberlangsungan apresiasi sastra.
4.      Perwujudan apresiasi sastra bisa bermacam-macam.
Dengan keempat alasan tersebut, sekali lagi kita dapat menegaskan bahwa status kehadiran apresiasi sastra adalah sebagai kiat atau seni, bukan ilmu atau keterampilan.
TUJUAN APRESIASI SASTRA
            Dalam apresiasi sastra terjadi interaksi antara manusia dan sastra  yang artinya terjadi perjumpaan antara manusia-pengapresiasi dan sastra-yang diapresiasi. Oleh karena itulah apresiasi dapat dikatakan  sebagai dunia perjumpaan antara dunia-manusia dan dunia-kewacanaan. Selanjutnya, hal ini memungkinkan dibangunnya dunia-perjumpaan dan dunia-kewacanaan. Sejalan dengan itu, apresiasi sastra sesungguhnya mempunyai satu tujuan saja, yaitu membangun dunia-perjumpaan yang memungkinkan dunia-perjamuan dan dunia-percakapan sehingga terselenggara interaksi antara manusia-pengapresiasi dan sastra-yang diapresiasi.  Setelah mengapresiasi karya sastra, manusia-pengapresiasi mendapatkan beberapa hal, antara lain :
·         Pengalaman
Segala sesuatu yang mungkin dapat, boleh, dan mungkin dialami oleh manusia selama hidup di dunia ini dapat disebut sebagai sebuah penglaman.
·         Pengetahuan
Selama dan sesudah apresiasi sastra berlangsung, setelah melakukan penyimpulan dan pengonseptualan apa yang kita apresiasi, kita bisa mendulang bermacam-macam pengetahuan.
·         Kesadaran
Apresiasi sastra juga menghidangkan dan memberikan kesadaran kepada pengapresiasinya. Radar-radar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi diharapkan bisa mengirimkan sinyal-sinyal kesadaran kepada nurani, rasa, dan budi si pengapresiasi. Hakikat manusia dan hidup manusia bisa juga disadari melalui apresiasi sastra. Sastra yang baik selalu menghidangkan permenungan tentang hakikat manusia dan hidup manusia di dunia.
·         Hiburan
Apresiasi sastra tidak hanya menghidangkan pengalaman, pengetahuan, dan kesadaran, tetapi juga hiburan karena sastra apapun (puisi, fiksi, dan sastra-dramatik) yang digubah secara jujur dan sungguh-sungguh selalu menghibur, memancarkan sinyal-sinyal permainan yang menyenangkan dan menghibur. Sudah tentu hiburan yang dihidangkan oleh apresiasi sastra berbeda dengan hiburan modern yang dikemas dengan bisnis dah teknologi canggih. Apresiasi sastra menghidangkan hiburan mentalitis yang bermain-main dalam jiwa dan batin kita.
FUNGSI APRESIASI SASTRA
            Fungsi merupakan suatu jalan atau wahana tercapainya tujuan-tujuan apresiasi sastra. Fungsi apresiasi sastra dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu :
§  Fungsi Eksperensial
Apresiasi sastra mengemban fungsi eksperensial (experiencial), yaitu fungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan pengalaman-pengalaman manusia kepada pengapresiasi sastra agar ia dapat menjiwai, menghayati, dan menikmati pengalaman-pengalaman manusia itu. Sejalan dengan itu, apresiasi sastra harus mampu menjadi penyelenggara permenungan tentang makna pengalaman manusia. Contoh : pada novel “Belenggu”
§  Fungsi Informatif
Apresiasi sastra juga mengemban fungsi, yaitu fungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan pengetahuan-pengetahuan kepada pengapresiasi sastra agar ia dapat menjiwai dan menikmati pengetahuan itu. Sejalan dengan itu, apresiasi sastra menjadi penyelenggara pemaknaan lukisan pengetahuan
§  Fungsi Penyadaran
Di samping fungsi eksperensial dan informatif, apresiasi sastra juga mengemban fungsi penyadaran, yaitu fungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan sinyal-sinyal kesadaran kepada pengapresiasi sastra.  Setelah itu, pengapresiasi diharapkan menyadari  sesuatu, misalnya hakikat hidup, hakikat manusia serta makna menjadi manusia.
§  Fungsi Rekreatif
Fungsi terakhir yang diemban oleh apresiasi sastra ialah fungsi rekreatif. Yang dimaksud fungsi rekreatif adalah fungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan hibura-hiburan kepada pengapresiasi sastra. Sebuah karya sastra dapat diandaikan selalu memuat hiburan batiniah dan sukmawi, dan seorang pengapresiasi bisa menjiwai, menghayati, dan menghidangkan hiburan batiniah dan sukmawi.
Keterpaduan Fungsi
            Fungsi-fungsi tersebut tidak selalu terpisah. Adakalanya malah berpadu. Maksudnya, dalam suatu proses apresiasi sastra bisa teremban dan tertunaikan beberapa fungsi sekaligus.

APRESIASI PUISI  (SUTEJO & SUGIYANTO)
A.    Pengertian Apresiasi
            Istilah “apresiasi” berasal dari bahasa Inggris “appreciation”. Istilah tersebut berasal dari disiplin psikologi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata apresiasi (1) kesadarann terhadap nilai seni atau budaya, (2) penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian yang diungkapkan oleh Dick Hartoko. Ia (1985) menyatakan bahwa kegiatan apresiasi itu adalah kegiatan penghargaan terhadap karya sastra.
            Seseorang memiliki kemampuan mengapresiasi dengan baik jika peka pikiran kritisnya dan peka perasaannya terhadap karya sastra yang dibaca (Effendi, 2004:5)
B.     Kegiatan Apresiasi Sastra
Sastra terbagi menjadi dua, yaitu sastra tuis dan sastra lisan. Sastra tulis ialah sastra yang mempunyai wujud dan tertulis. Umumnya ditemukan di buku-buku. Sedangkan, sastra lisan adalah sastra yang muncul dari perbincangan satu orang yang menyambung pada orang lain. Kegiatan langsung apresiasi sastra ialah apabila sang apresiator langsung menggauli sebuah karya sastra yang akan diapresiasi. Kegiatan yang tidak langsung adalah ketika sang apresiator tidak secara langsung menggauli sebuah karya sastra itu, namun berupa mempelajari teori sastranya maupun sejarah sastranya.
C.     Bekal Awal Apresiator
Bekal awal apresiator menurut Aminuddin mencakup kepekaan emosi, pengalaman hidup, kemampuan di bidang kebahasaan, dan pemahaman terhadap unsur intrinsik karya sastra. Sebuah karya sastra juga memiliki unsur pembangunnya antara lain, unsur intrinsik dan ekstrinsik yang ada di dalam karya sastra tersebut.
D.    Pendekatan dalam Apresiasi Puisi
Pendekatan-pendekatan dalam mengapresiasi puisi biasanya dipilih dengan mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan puisi yang kita hadapi. Pendekatan menurut Aminuddin (1991:40) merupakan suatu prinsip dasar atau landasan yang digunakan seseorang dalam mengapresiasi puisi. Contoh pendekatan yang digunakan, antara lain: pendekatan analitik, pendekattan emotif, pendekatan paraphrase, pendekatan didaktis, dan lain sebagainya.
Dalam mengapresiasi sebuah puisi pasti sang apresiator menemukan masalah-masalah yang dihadapi. Di sinilah peran semua unsur-unsur bekal apresiator diperlukan agar memudahkan apresiator dalam mengapresiasi sebuah puisi maupun karya sastra yang lain.

Komentar

  1. Etika penulisan yg sgt penting dilakukan oleh setiap penulis adalah menyebutkan sumber rujukan atau referensinya (baik berupa buku maupun sumber tertulis lainnya). Selain etika, hal itu juga sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah. Marap mafhum dan terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas koreksinya. Maaf sumber belum dimasukkan secara khusus, tetapi sudah ada beberapa sumber yang disebutkan. Sekali lagi, terima kasih atas sarannya.

      Hapus
  2. Bagus banget ceritanya


    BalasHapus

Posting Komentar