CERPEN



Karena Aku Tak Pernah Menyerah

Goooolll.. goooll!!!
Nampak sebuah senyuman mengembang. Suara bergemuruh dari televisi memekakkan telinga. Sungguh seperti suara menggelegar penuh semangat.
“Ah, aku menang kan!!” ledek seorang gadis pada lawan taruhannya yang nampak lesu.
“Itu gara-gara beruntung aja. Coba tendangan yang tadi gak masuk. Pastikan skor nya    1-1.”ucap seorang cowok pasrah.
“Udahlah, kak. Kalau kalah ya kalah aja. Oh ya, jangan lupa besok traktirannya ya.” Kata gadis itu sambil melangkah pergi. Suara gemuruh di televisi masih terdengar menandakan sebuah kemenangan yang sangat dinantikan.
Pagi datang tak pernah terlambat. Tak pernah mau menunggu jiwa manusia yang masih terkungkung lelah. Dia selalu setia menyapa bersama cahaya sang surya.
“Aduh, telat!!” Nampak sebuah keributan kecil ditimbulkan oleh seorang gadis. Handuk yang berada di gantungan disambar dengan kasar. Dia telat bangun. Dia berlomba dengan bel sekolah yang akan berbunyi sekitar 20 menit lagi.
“Telat bangun lagi ya, dek? Makanya enggak usah nonton bola sampai malam lagi.” Suara keras kakaknya tak terlalu terdengar.
“Jangan bawel dong, kak. Aku lagi ribet nih. Tunggu 10 menit lagi ya. Aku bareng ke sekolah.”sahutan yang tak kalah keras terdengar dari kamar mandi.
Seorang gadis Nampak terburu-buru memasuki sebuah sekolah. Keadaan sekolah sudah sepi karena bel telah berbunyi 10 menit yang lalu.
“Adel! Telat lagi kan! Pasti habis begadang lagi kan?”sebuah suara menyapa gadis itu
“Hehehe. Iya nih, semalam aku nonton bola.”gadis itu menjawab bersama sebuah cengiran.
“Kebiasaan deh. Untung Bu Indah enggak masuk hari ini. Coba kalau masuk, pasti kamu dapat hukuman.”
“Jadi Bu Indah nggak masuk? Alhamdulilah…!”Adel bersyukur sekali.
“Dasar football holic. Apa sih bagusnya sepak bola? Lagian yang dilihat Cuma orang lari-lari ngejar bola gitu.”ujar Rima.
“Bambang Pamungkas. Aku kan lihat Bambang Pamungkas. Legenda Indonesia yang tak akan pernah terlupakan.”kata Adel bersemangat.
“Bambang Pamungkas kan udah nggak sebagus dulu.”kata Rima sok tahu.
“Yee, siapa bilang? Buktinya semalam dia cetak gol. Dia masih ada. Bambang Pamungkas belum habis, tauk!”Adel setengah tersinggung dengan kata-kata Rima.
“Iya deh, maaf. Yuk ke kelas aja. Nanti keburu ketahuan guru piket kalau kita ngobrol di sini.” Ajak Rima.
Waktu berjalan tanpa henti meninggalkan hari lalu yang menyimpan sejuta kenangan. Sama seperti sepak bola, waktu pun juga harus mampu diperjuangkan. Tak akan ada manusia yang berdiam saja jika mereka semua sadar betapa pentingnya sebuah waktu.
Sebuah kamar tampak berantakan. Poster pemain sepak bola dengan nomor punggung 20 berserakan dimana-mana. Sebuah poster paling besar tertempel dengan indah di tembok.
“Dek, udah lihat berita belum?”tanya Reno suatu siang.
“Berita apa, kak?”Adel mulai tertarik dengan kata-kata kakaknya.
“Bambang Pamungkas pensiun dari TimNas tuh! Masak sih belum dengar.”kata Reno
“Masak sih?” tanpa basa-basi lagi, Adel menyalakan laptopnya. Ucapan kakaknya tak akan dipercaya sebelum dia melihat sendiri berita itu. Sebuah berita yang membuat hatinya tiba-tiba tidak nyaman. Sedalam itukah rasa sukanya pada Bambang Pamungkas?? Senyum Adel hilang seketika saat membaca sebuah berita yang ternyata sudah menyebar. Idolanya benar-benar telah pensisun dari TimNas.
“Udah dong jangan nangis. Lagian dia kan masih main di klub. Yah, walaupun nggak akan lagi main di TimNas.” Reno mencoba menenangkan adik semata wayangnya itu. Bagaimanapun dia juga memiliki peran besar karena telah mengenalkan Adel dengan dunia sepak bola.
Lagi-lagi waktu tak mau berhenti. Dia terus berjalan melewati ribuan kejadian. Menciptakan luka, menyembuhkannya bahkan membuatnya kembali terluka.
“Del, jangan bengong dong. Nanti buku yang kamu bawa jatuh loh!”Rima mencoba mengingatkan. Mereka sedang menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku. Buku yang dibawa pun tidak sedikit.
Adel tidak mendengarkan kata-kata Rima. Dia masih galau karena berita Bambang Pamungkas itu. Tanpa sadar, salah satu kaki Adel menendang tempat sampah. Adel pun terkejut dan buku-buku yang dia bawa jatuh berserakan. Tiba-tiba saja sepasang tangan membantu Adel mengambil buku itu.
            “Kalau jalan jangan bengong ya. Bisa bahaya.”Adel serasa tersihir saat menatap mata cowok yang menolongnya itu. Entahlah, dia merasa kaku.
            Setelah mengucapkan terima kasih, Adel dan Rima bergegas ke perpustakaan. Cowok itu membalas ucapan itu dengan senyum yang ramah.
            “Tadi itu, anak baru ya?” Adel bertanya pada Rima.
            “Ya ampun, Del. Kamu tuh jadi anak kok kuper banget sih. Itu tadi kan Angga. Kakak kelas kita. Ketua Osis di sini. Kan kamu dulu ikutan milih dia.”Rima merasa jengkel sendiri.
            “Oh gitu. Aku lupa. Aku masih mikirin nasib Bambang Pamungkas nih.”kata Adel terus terang. Rima maklum dengan jawaban dari Adel
88888
            Adel masih setia memandangi setiap poster yang tertempel di dinding kamarnya. Poster dengan nuansa lapangan hijau kebanyakan. Sosok seorang laki-laki dengan seragam Tim Nasional yang penuh karisma.
            “Kangen deh lihat BP main di TimNas.” Kalimat itu terucap begitu saja. Tiba-tiba HP di sampingnya bergetar tanda telepon masuk. Adel tidak mengenal nomor yang meneleponnya.
            Halo, ini siapa?”kata Adel.
            “Apa benar ini Adel, anak SMA 1?”suara diseberang adalah cowok.
            “Iya, benar. Ini siapa?
            “Ini Angga, yang tadi bantuin kamu beresin buku.”
            “Ooh, ada apa ya, kak?”
            “Aku pengin balikin dompet kamu. Tadi dompet kamu jatuh. Besok bisa ketemu?”tanya Angga ramah.
Adel menutup telepon dengan senyuman. Ada rasa nyaman saat ngobrol dengan Angga, cowok yang baru dikenalnya tadi. Dia sedikit membantu Adel mengatasi kegalauannya.
            Pagi ini suasana kantin masih sepi. Mungkin anak-anak masih belum berselera untuk makan atau mungkin cacing di perut mereka belum berdemo meminta haknya. Adel duduk di sebuah bangku di sudut. Dia janjian dengan Angga pagi ini di kantin., dia sabar menunggu kedatangan sosok Angga.
            “Aduh, maaf ya agak lama. Aku tadi ke ruang Osis dulu.” Sebentuk wajah berhiaskan senyum ramah muncul di depan Adel.
            “Enggak papa kok kak. Aku juga baru sampai.” Adel menampilkan senyum manisnya.
            “Oh ya, ini dompet kamu? Kemarin jatuh. Emm, maaf ya aku kemarin buka-buka dompet kamu. Soalnya aku pengin cari pemiliknya. Nomor HP kamu juga aku temuin dari dompet.”ujar Angga jujur.
            “Iya, nggak papa kok Kak. Terima kasih ya udah repot-repot balikin dompet aku. Aku aja baru sadar kalau dompetku hilang setelah Kak Angga telepon semalam. Hehehe.”Adel tertawa geli.
            “Oh, ya kamu suka Bambang Pamungkas ya?”tanya Angga
            “Iya, Kak. Aku fans beratnya. Tapi sayang belum bisa ketemu langsung.”kata Adel setengah curhat. Dia kembali teringat Bambang Pamungkas yang tak lagi di TimNas.
            “Aku juga fans beratnya BEPE loh! Semalam aku kaget. Kok ada foto BEPE di dompet kamu. Hehehe! Aku suka sama BEPE karena dia pemain yang tangguh. Dia tidak pernah menyerah dengan apa yang dia sukai. Buktinya, walaupun dia udah pensiun dari Tim Nasional tapi dia tetap bermain sepak bola. Meskipun hanya di sebuah klub.” Kali ini Angga sedikit menunjukkan senyum lebarnya. Adel takjub. Ternyata cowok di depannya ini juga menyukai Bambang Pamungkas.
            Semakin hari, Adel dan Angga semakin akrab saja. Kesamaan mereka yang sama-sama menyukai Bambang Pamungkas menjadi jembatan keakraban itu. Angga juga sering nonton sepak bola bareng di rumah Adel. Dia gampang sekali beradaptasi dengan Reno, kakak Adel. Angga juga takjub melihat Adel yang sangat menyukai bola. Anggapannya bahwa tidak ada seorang cewek pun yang menyukai sepak bola akhirnya terpatahkan. Adel juga mulai merasa nyaman dengan Angga. Adel menemukan sosok almarhum papanya pada diri Angga. Selama ini hanya Reno yang mempunyai kemiripan itu, tetapi ternyata Angga juga mempunyai sifat itu. Sifat dewasa dan juga bertanggung jawab.
            “Kak Angga sudah punya pacar?”Adel bertanya agak sungkan. Angga yang mendengar itu pun kaget. Dia tidak menyangka Adel akan bertanya hal itu.
            “Aku.. Aku belum punya pacar. Memangnya kenapa, Del?”
            “Ehmm.. itu..anu. Aduh, gak ada apa-apa kok Kak. Aku cuma iseng tanya aja.” Adel merasa gugup sendiri dan menyesali pertanyaannya.
88888
            “Kalau kamu sayang sama Kak Angga, ungkapin aja Del!” Rima mencoba meyakinkanku tentang perasaan ini.
            “Tapi aku takut cuma aku yang mempunyai perasaan ini. Aku takut sakit hati, Rima.” Adel mulai berkaca-kaca.
            “Adel itu bukan orang yang cengeng. Ingat dong gimana semangatnya kamu saat BP mencetak gol bahkan saat BP hanya bermain tanpa menghasilkan gol. Kamu tetap semangat. Masak cuma gara-gara ini kamu jadi putus asa sih.”
            “Ini beda, Ma. Ini masalah hati.”
            “Del, dulu kan kamu pernah bilang kalau hidup itu kayak sepak bola. Para pemain sepakbola enggak pernah menyerah buat mengejar bola, begitupun seharusnya seorang manusia dalam menjalani hidupnya. Iya, kan? Itu kata-kata kamu kan?” Rima berkata dengan serius. Melihat Adel mengangguk sambil menangis, akhirnya Rima memeluknya.
            Setelah menata hatinya, Adel memberanikan diri untuk menemui Angga. Dia akan megatakan perasaannya pada Angga. Dia mencari Angga dimana-mana, mulai dari kelas Angga sampai ruang Osis dan ternyata Angga ada di kantin. Semua keberanian Adel seperti lenyap saat melihat Angga di kantin. Angga sedang duduk berdua dengan seorang cewek. Mereka berdua begitu akrab sampai-sampai si cewek tidak malu-malu menyuapkan makanan ke mulut Angga. Tangan Angga saat itu tengah menggambar sesuatu yang tidak memungkinkan dia untuk menyendok makanannya. Mereka berdua juga tertawa lepas sekali.
            “Kak Angga.” Suara Adel begitu lirih. Namun entah mengapa masih saja bisa didengar oleh Angga. Dia menoleh dan mendapati Adel tengah berbalik dan akan pergi. Adel tidak tahu jika Angga mengejar di belakngnya.
            “Adel, tunggu. Tunggu!” akhirnya Angga mendapatkan tangan Adel dan memaksanya berhenti. Angga kaget saat tahu Adel tengah menangis. Dia mencoba mengusap-usap rambut Adel lembut.
            “Kak Angga jahat. Adel sudah berusaha tapi sepertinya Adel akan menyerah.”
            “Maksud kamu apa, Del? Menyerah untuk apa?”tanya Angga
            “Sepertinya Adel akan menyerah untuk suka sama Kak Angga. Adel menyerah, Kak. Ternyata Kak Angga sudah punya pacar.” Angga tiba-tiba saja tertawa mendengar kata-kata Adel.
            “Jadi kamu suka sama aku?”Angga bertanya. Itu justru membuat Adel tambah menangis. Anggah jadi serba salah.
            “Kalau aku bilang, cewek tadi cuma sahabat aku, terus dia hanya mencoba bersikap bersahabat, apa kamu tetap akan menyerah?” Angga bertanya. Adel hanya mengangguk.
            “Kalau aku bilang, aku nggak mungkin pacaran sama cewek tadi karena dia sudah punya pacar, apa kamu masih tetap akan menyerah?” Angga kembali bertanya. Adel kembali mengangguk. Angga mulai frustasi dan gemas sendiri.
            “Kalau aku bilang, aku juga sayang sama kamu, apa kamu masih akan menyerah untuk suka sama aku?”kali ini Adel kaget. Dia langsung memandang Angga yang tersenyum mengangguk.
            “Maksud Kak Angga?”
            “Aku juga sayang sama kamu, Del. Aku bahkan mulai cinta sama kamu. Buktinya, nggak tahu kenapa hatiku sakit saat kamu nangis. Terkadang aku juga merasakan kesenangan kamu saat  bercerita tentang Bambang Pamungkas. Ekspresi sedih kamu saat nmenunjukkan artikel tentang pensiunnya BP, entah kenapa aku juga merasakannya. Makanya aku putuskan bahwa aku mungkin suka sama kamu.”
            Adel tak bisa lagi menahan tangisnya. Kali ini bukan tangisan pasrah tapi tangisan bahagia. Angga memeluknya erat. Membiarkan Adel menumpahkan semua rasa hatinya tepat di dadanya. “Aku berharap, kamu tidak akan menyerah untuk suka sama aku karena aku pun tak akan menyerah menyukaimu.”
            Hidup itu seperti sepak bola. Tidak ada kata menyerah. Tidak ada kata pasrah. Yang ada hanya perjuangan untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan.
************


Komentar